Konsep diri merupakan salah satu faktor yang mampu
memberikan pengaruh terhadap penyesuaian diri individu. Di dalam penyesuaian
diri individu terdapat faktor konsep diri yang akan mengarahkan pola
penyesuaian diri yang akan dilakukan oleh individu. Dengan kata lain, untuk
melakukan penyesuaian diri yang baik dibutuhkan faktor konsep diri yang baik
pula. Dari situlah dapat diketahui bahwa konsep diri dan penyesuaian diri
memiliki hubungan yang erat.
Individu akan terus melakukan penyesuaian diri. Dalam
berinteraksi dengan lingkungan sosial, manusia sebagai pribadi sangat ingin
agar kehadirannya diterima oleh orang-orang yang ada dalam lingkungannya dimana
dia tinggal. Brooks & Emmert (dikutip Rakhmat, 2007, h.105), keberhasilan
seseorang melakukan sesuatu banyak tergantung pada kualitas konsep dirinya,
baik positif maupun negatif. Rasa diterima kehadirannya oleh semua pihak akan
membentuk konsep diri yang positif dan memberikan rasa aman pada diri sendiri
karena individu merasa bahwa ada dukungan dan perhatian terhadap dirinya.
Penerimaan dari lingkungan ini merupakan motivasi yang baik bagi individu untuk
lebih survive dalam menghadapi kehidupannya. Kehadiran seseorang yang tidak
diterima dalam lingkungannya dapat membentuk konsep diri negatif, merasa tidak aman
dan terancam. Penolakan ini menimbulkan kelabilan emosi, menutup diri dan sikap
yang cenderung menantang atau bahkan dengan adanya kemanjaan dari diri seseorang
dapat menyebabkan dia terkena cinderella
complex.
Selain itu, perkembangan emosi yang sangat matang dan
konsep diri yang berkembangan sangat baik berhubungan dengan kenakalan remaja,
hanya berlaku pada sampel remaja dengan tingkat kenakalan tinggi. Remaja dengan
emosi matang mampu mempertahankan dorongan emosi, memahami emosi diri untuk
diarahkan kepada tindakan-tindakan positif, tidak menggantungkan diri kepada
orang lain, sadar dan bertanggung jawab menjalankan keputusan, menerima
kelemahan maupun kelebihan dan menerima diri secara fisik maupun psikis dengan
baik. Remaja yang matang emosinya kemungkinan besar tidak suka melawan orang tua,
tidak membolos sekolah, dan tidak suka pergi dari rumah tanpa pamit,
mengendarai motor tidak dengan kecepatan tinggi, menghindari narkotika, tidak menggunakan
senjata, tidak keluyuran malam, dan menghindari pelacuran. Remaja dengan emosi
matang perilakunya tidak merugikan orang lain, tidak mencuri, mencopet, ataupun
merampas. Remaja yang matang emosinya menghindari perilaku yang dapat menimbulkan
korban fisik pada orang lain seperti berkelahi, menempeleng, menampar, melempar
benda keras, mendorong sampai jatuh, menyepak, atau memukul dengan benda.
Menurut Panuju & Umami (1999, h.85), konsep diri
berkembang seiring dengan bertambahnya pengalaman dan pengetahuan yang
didapatnya baik dari pendidikan keluarga, sekolah, perguruan tinggi maupun
masyarakat. Dalam hal ini, untuk mengembangkan konsep diri peran orang tua
sangatlah penting. Orang tua harus mulai mempercayakan anak untuk bertindak
dimana kepercayaan tersebut dapat menjadikan anak yakin dan percaya terhadap
diri dan kemampuannya. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian Marini &
Andriani (2005) dimana pola asuh demokratis akan menampilkan anak dengan
perilaku yang ramah, memiliki harga diri dan percaya diri tinggi, memiliki
tujuan, cita-cita, serta berprestasi. Franken (dalam Huitt, 2009) juga
menyatakan bahwa terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa konsep diri merupakan
dasar semua perilaku yang bermotivasi. Konsep diri yang memberikan peningkatan
diri menuju ideal, dan diri ideal yang menciptakan motivasi dalam perilaku.
Konsep diri adalah pandangan dan keyakinan individu
mengenai dirinya sendiri yang mencakup fisik, psikis, sosial dan moral. Menurut
Fuhrman (dalam kusumawardani, 2012) konsep diri merupakan variabel yang akan
ikut menentukan bagaimana individu merasakan, menerima, dan merespon diri dan
lingkungannya. Apabila individu menilai dirinya kurang baik, maka individu akan
menganggap remeh dan membayangkan kegagalan usahanya, sedangkan bila individu menerima
dirinya baik, maka individu akan bersikap optimis terhadap usahanya sehingga
kemungkinan untuk sukses tinggi.
Seseorang yang terkena obesitas, konsep diri yang
positif berpengaruh terhadap tingkat kepuasan citra tubuhnya, rasa puas ini
dapat meningkatkan harga diri mereka sehingga, mereka yang memiliki konsep diri
yang positif akan rentan terhadap penghinaan fisik yang dilakukan oleh
lingkungannya.
Peters (2004) menyebutkan bahwa faktor gender menjadi
prediksi signifikan penyebab terjadinya isolasi sosial dan kesepian yang merupakan
akibat lanjut dari gangguan konsep diri. Pernyataan ini berhubungan dengan
lansia karena usia yang lebih panjang pada wanita dibandingkan pria menyebabkan
ia memiliki banyak waktu sendiri, ditambah lagi dengan masalah kesehatan kronis
yang membatasi interaksi sosialnya. Namun, pria tampaknya memiliki kesulitan
dalam hal kemampuan kopingnya saat ia kehilangan pasangannya, mereka biasanya
memilki sedikit sistem pendukung sosial dibandingkan wanita dan kurangnya
hubungan sosial yang akrab termasuk dengan keluarga. Hal tersebut tidak
ditemukan dalam penelitian ini karena jumlah lansia perempuan lebih banyak
dibanding laki-laki. Menurut Imron (1999) konsep diri lansia juga dipengamhi
oleh dukungan sosial dari keluarga terutama pasangan, teman sebaya ataupun dari
petugas panti bagi lansia yang menghabiskan masa tuanya di panti werdha. Dukungan
emosional dari pasangan memberikan pengamh besar terhadap kesehatan mental.
Karena itu dukungan keluarga sangat diperlukan bagi lansia, apabila dukungan
keluarga tidak ada akan mengakibatkan pengaruh yang sangat besar bagi lansia
terutama psikologis lansia yang cenderung membuat lansia jatuh pada kondisi
gangguan konsep diri.
0 komentar:
Posting Komentar